Gadis berusia 12 tahun itu berdiri di muka kelas dengan wajah pucat dan
merah padam. Serbuan gumpalan kertas dan caci maki seolah tak berhenti
menghantam tubuh mungilnya yang sedang berdiri di atas satu kaki.
Gara-gara ketahuan mencoret-coret bagian belakang buku tulisnya, ia
dihukum berdiri satu kaki di depan kelas dan disoraki teman sekelasnya.
Tak cukup sampai di sana. Setelah jam istirahat berbunyi, ia masih harus
menerima amarah guru kelas berikut cubitan yang membirukan lengannya.
Kejadian itu belum bisa hilang dari benaknya meskipun puluhan tahun
berlalu dan sang guru kelas telah meninggal dunia. Masalahnya sepele. Ia
menulis bagian belakang buku tulisnya saat jam pelajaran dengan
cerita-cerita roman, karena jenuh dengan pelajaran sang guru. Belakangan
ia pun mengetahui bahwa ia suka menulis dan menggambar. Hampir semua
buku pelajarannya penuh coretan di bagian belakang. Ia menghilangkan
rasa jenuh belajar dengan menulis cerita-cerita khayalan dan menggambar
kartun.
Walaupun mengalami hukuman di kelas 6 SD, kesukaannya menulis dan
menggambar itu tak berhenti. Ketika duduk di bangku SMP, akhirnya ia
menulis di buku tersendiri sehingga tidak mengotori buku pelajarannya.
Tulisan itu semakin banyak terkumpul menjadi cerita-cerita pendek dan
novela. Setelah duduk di bangku SMA, ia beranikan diri mengirim
tulisan-tulisan khayalannya ke majalah-majalah dan baru dimuat saat
duduk di kelas 3 SMA. Perjalanan yang panjang untuk menjadi seorang
penulis dan novelis.
Ya. Dulu profesi penulis dan novelis masih dipandang sebelah mata. Kini
profesi itu semakin dikenal. Ia terus menekuni hobi menulisnya meskipun
perjalanan tak selalu mulus. Penghargaan pertamanya diperoleh ketika
baru lulus kuliah. Novel pertamanya menjadi juara kedua sebuah lomba
novel. Penghargaan yang memotivasinya untuk terus menulis.
Seberapa penting sebuah penghargaan baginya? Tentu saja, bagi seorang
gadis yang pernah dihukum di depan kelas karena ketahuan menulisi buku
pelajarannya, penghargaan itu sangat penting. Ternyata apa yang
dilakukannya dulu itu bukan perbuatan bodoh, sebagaimana yang dituduhkan
oleh mendiang gurunya. Sayang, sang guru belum sempat menyaksikan
puluhan buku yang telah diterbitkan si anak "bodoh" itu karena sudah
meninggal dunia.
Penghargaan adalah motivasi untuk melakukan lebih banyak lagi prestasi.
Dalam Teori Kebutuhan Maslow oleh Abraham Maslow, pakar Psikologi,
penghargaan adalah salah satu kebutuhan dalam puncak teratas yang harus
dipenuhi setelah kebutuhan-kebutuhan dasar. Adanya penghargaan dapat
memicu seseorang untuk melakukan lebih banyak lagi hal positif untuk
kemajuan dirinya maupun orang lain.
Gadis itu, adalah aku. Telah merasakan betapa sebuah penghargaan telah
mendorongnya untuk terus berprestasi. Walau sang guru telah tiada, aku
tak ingin berhenti. Penghargaan adalah buah cinta dan keikhlasan dari
melakoni pekerjaan yang dulu dicemooh banyak orang. Bertahun-tahun
menjadi seorang penulis, aku telah merasakan pahit manisnya. Tak semua
pekerjaanku dihargai, tetapi aku tetap bertahan menjalani profesi yang
telah mendarah daging dalam tubuhku ini. Jika aku mendapatkan
penghargaan, maka itulah buah cinta dan keikhlasan. Jika mengikuti Teori
Maslow, maka aku telah berada di puncak piramida.
http://www.leylahana.com/2016/08/penghargaan-buah-cinta-dan-keikhlasan.html
First
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
EmoticonEmoticon